-Hanya-

“Ini sulit, kan?”

Sarah mengangguk lemas. Menatap manik indah laki-laki di hadapannya. Lantas menunduk, menatapi selembar kertas yang sejak awal berada dalam genggamannya. Untuk ke sekian kalinya ia harus patah hati lantaran apa yang sudah ia siapkan berbulan-bulan kembali mendapat penolakan.

Perahu mimpinya kembali karam.

“Jangan menyerah. Meski harus ditolak seratus kali, jangan pernah menyerah. Oke?!”

Sarah tak menjawab. Hanya terus menunduk. Kali ini ujung sepatu sneaker putihnya yang jadi objek tatapannya.

“Aku selalu ada untukmu. Aku bisa menjadi apa pun yang kamu mau.”

Sarah menghela napas panjang. Lelah dan letih. Rasanya ia sudah putus asa. Memang sebaiknya ia berhenti saja. Selama ini, mimpi yang ia bangun memang selalu membuat hatinya gusar dan tak tenang.

Ia telah bermimpi terlalu jauh. Mimpi yang tak mungkin diraihnya.

Kembali, matanya berputar ke arah samping. Tempat di mana laki-laki bermata indah itu duduk. 

Tak ada. Sejak awal memang tak ada. Sejak awal ia hanya fantasi. Sejak awal ia hanya tokoh fiksi dalam naskah novelnya yang berulang kali tak mampu menembus jantung penerbit.

“Seandainya kamu benar-benar ada”—Sarah meremas surat dari penerbit di tangannya—”Kaisar Zaidan.”

Tinggalkan komentar